perbedaan

Foto Izhar Piyo Isnanto.

merekalah yang sering menyadarkan betapa pentingnya perbedaan, setelah hampir mencapai kepala satu dalam kancah pendidikan, beberapa tahun terakhir ku menyadari perbedaan adalah suatu yang hak, yang musti ada.
.
ketika dulu ku menginginkan semua anak didikku harus anteng semua, harus pinter semua, harus cerdas semua, bla bla bla bla.. semua harus sesuai dengan kriteria otakku.
sekarang mulai menyadari dan menikmati setiap keunikan yang mereka bawa, tak jarang sikap khasnya menyibak tawa di dada.
yang kemarin aku bentak “sayang kamu tak boleh seperti itu!!”, hari ini sudah mampu memeluk jabat tanganku dengan kasih murni, yang kemarin kuberi muka mbesengut tanda tak setuju dengn kenakalannya, hari ini dia memberi senyum cerah sambil lari menujuku. ah aku sayang kalian semua tunas2 bangsaku..
.
jika ada diluaran sana tak paham betapa indahnya keberagaman, silahkan main kesini untuk sekedar mengamati dan menikmati kelucuan-kelucuan mereka.

ditanya ini itu serb tau. Ustat atau Dukun?

kembali mulut ini asik dengan smokenya, setelah sekian lama dicampakan.

selain ini sebagai alat relaksasi, udud adalah alibiku untuk menghindari pose mlongo seperti kambing conge(padahal gue gak pernah liat kambing conge gimana, abaikan), atau setidaknya jepitan ditangan sambil jempol menahan dahi yang sepaneng terlihat sedikit keren, ya gak kaya meratapi nasib banget gitu lah.

jadi kemaren itu, aku yang pernah kuliah dijurusan teknik informatika, dan sekarang memang menjadi guru TIK, mendapat mandat secara mendadak untuk membuat hal yang aku newbie dalam hal tsb.
dengan waktu yang begitu singkat kuharus melahap project itu dg hasil maksimal.. maygatt.. telapak tanganku langsung melesat cepat nempel dijidat.. kukerjakan itu dengan terlebih dahulu menjelaskan kemampuanku yang bukan profesional dalam hal itu, ya Alhamdulillah terlaksana dengan respon baik.. semoga respon itu bukan ekting utk menghargai hasil yg jelek yah.. haha..
saat2 penggarapan project utulah berbatang-batang rokok setia menemani.

jadi teringat momok.. pake ‘o’ ya.. awas aja diganti ‘e’!!.

jadi begini guys, sudah bukan rahasia lagi bahwa momok bagi mahasiswa atau mantan mahasiswa IT, adalah dianggap pasti memahami segala hal yang berkaitan dengan teknologi.
dari harga HP all varian, sampai remot tipi nggak bisa dipencet, orang IT dianggap wajib tau..

dulu awal ku menjadi mahasiswa IT, masih seumur jagung belajar dunia informatika, jika ada pertanyaan berkaitan itu pasti kujawab, gapeduli aku buka google sampe buka puluhan new tab, pokoknya harus bisa jawab, bisa anjlok reputasi sebagai mahasisea teknik. dulu, dulu banget.. hahaha..

dan sekarang.. jika ada yang nanya perihal harga alat elektronik atau cara benerin radionya yang mati haha.. saya jawab “maap”.. silahkan pergi ke toko elektronik dan cari tukang servis.. 😂
maap karena sekarang aku sudah tak perduli jika ada yang bilang IT abangan, orang IT tp gitu aja gabisa, orang IT tapi nggak bisa nge-hack..
bodo amat!!! gakpeduli..!!! hahaha..
karena sekarang aku paham, yang bisa melontarkan kalimat2 semacam itu adalah mereka yang sangat awam dalam dunia informatika, yang sangat rendah ilmunya dalam dunia teknologi. jadi dikiranya ilmu teknologi informasi tidak terpecah menjadi sekian banyak konsentrasi.

dan sekarang aku sedang berfikir begini, bisa jadi untuk para pakar agama pun begitu. para Ustadz, pasti sering mendapatkan pertanyaan2 yang beragam mengenai agama, dan bukankah dalam ilmu agama juga cukup kompleks jika digubah?
mungkin ada yang passionnya di bidang fiqh, mungkin bagian tauhid, mungkin bagian tafsir, dan masih banyak lagi..

aku sedang berfikir, para Ustadz yang mendapat begitu banyak ragam jenis pertanyaan dari perkara remeh-temeh sampai permintaan solusi hidup yang kompleks itu, yang selalu bisa menjawab, apapun pertanyaannya selalu dijawab, dan tidak sedikit dengan nada meyakinkan bahwa itulah jawaban yang benar.
apa mungkin Ustadz yg seperti ini berada pada fase sepertiku saat awal nyemplung di dunia informatika?
apakah jika Ustadz ini tak menjawab atau menjawab “saya tidak tau” takut orang2 melabeli dirinya sbg Ustadz abangan? sama sepertiku juga dlu yg takut dibilang IT abal2.

ah ini hanya pikiranku saja mungkin, semoga para pegiat agama, para pendakwah, para mubaligh di dunia ini, wabilkhusus di bumi Pertiwi Indonesia ini. selalu diberi kompetensi ilmu yang memadai, untuk menunjukan aturan hidup sesuai Wahyu-NYA..
dan jika ada yang belum memahami terkait persoalan yang diajukan padanya, diberi kekuatan untuk menjawab “saya tidak tahu”.

oh iya, silahkan disambung lagi ududnya.. 😂

amplop abu-abu

oleh: KH. A. Mustofa Bisri

Kejadian ini mula-mula aku anggap biasa, tapi setelah berulang sampai lima-enam kali, aku jadi kepikiran. Sudah lima-enam kali kejadian itu, jadi sudah cukup alasan untuk tidak menganggapnya sesuatu yang kebetulan.Di bulan-bulan tertentu, sebagai mubalig, aku harus keliling ke daerah-daerah, memenuhi permintaan mengisi pengajian.

Bulan Muharram memberi pengajian dalam rangka memperingati Tahun Baru Hijriah. Bulan Mulud, Rabi’ul Awal, dalam rangka peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Bulan Rajab, dalam rangka Israk Mikraj. Bulan Sya’ban,dalam rangka Haflah Akhir Sanah atau Ruwahan. Bulan Ramadan, dalamrangka Nuzulul Qur’an. Bulan Syawal dalam rangka Halal –bi-Halal.

Belum lagi pengajian-pengajian dalam rangka Walimah Perkawinan, Khitanan, dan lain sebagainya. Capek juga.

Kadang-kadang ingin sekali aku menghentikan kegiatan yang menguras energi ini. Bayangkan, seringkali aku harus menempuh jarak ratusan kilometer dan tidak jarang lokasi pengajian sulit ditempuh dengan kendaraan roda empat, hanya untuk berbicara sekitar satu jam. Kemudian setiap kali pulang larut malam, galibnya menjelang Subuh baru sampai rumah.

Tentu saja tak pernah ada yang menyambut kedatanganku, anak-isteri masih tidur.Kalau pengajian-pengajian itu jelas pengaruhnya pada jamaah sih tidak masalah. Ini tidak.

Pengajian-pengajian yang begitu intens dan begitu tinggi volumenya itu sepertinya hanya masuk kuping kanan dan langsungkeluar lagi dari kuping kiri.Tak membekas.

Buktinya mereka yang bakhil ya tetap bakhil, yang hatinya kejam ya tetap kejam, yang suka berkelahi dengan saudaranya ya masih tetap berkelahi, yang bebal terhadap penderitaan sesama juga tidak kunjung menjadi peka, yang suka menang-menanganya tidak insaf.

Pendek kata, seolah-olah tidak ada korelasi antara pengajian dengan mental mereka yang diberi pengajian. Kadang-kadang aku berpikir, apakah masyarakat kita ini suka pengajian hanya seperti hobi saja. Kelangenan.

Mungkin juga karena mubalig sering mengemukakan besarnya pahala mendatangi pengajian tanpa lebih jauh menjelaskan makna “menghadiri pengajian” itu.

Jadi, orang menghadiri pengajian “sekedar” cari pahala. Yang penting hadirnya, tak perduli hadir terus tidur, melamun, ngobrol sendiri, atau hanya menikmati kelucuan dan “keberanian” mubalignya.

Kok tidak ada ya yang mensurveikejadian ini, misalnya meneliti sejauh mana pengaruh ceramah agama terhadap perilaku masyarakat yang menerima ceramah, pengaruh positifnya apa, negatifnya apa, dan sejauh mana peranannya dalam memperbaiki mental masyarakat? Tapi baiklah.

Biarkan aku bercerita saja tentang penglamanku.

Mula-mula kejadian yang kualami aku anggap biasa. Tapi setelah berulang sampai lima-enam kali, aku jadi kepikiran. Biasanya setiap selesai memberi pengajian selalu saja aku harus melayani beberapa jama’ah yang ingin bersalaman denganku.

Pada saat seperti itu, sehabis memberi pengajian di satu desa, ada seseorang yang memberi salam tempel, bersalaman sambil menyelipkan amplop berisi ke tanganku.

Pertama aku tidak memperhatikan, bahkan aku anggap orang itu salah satu dari panitia. Setelah terjadi lagi di daerah lain yang jauh dari desa pertama, aku mulai memperhatikan wajah orang yang memberi salam temple itu.

Pada kali-kali lain setelah itu, di tempat-tempat yang berbeda dan berjauhan, kulihat memang yang memberi salam tempel orangnya yaitu-itu juga.

Orang yang selalu memakai baju hitam-hitam. Wajahnya yangbersih dan senyumnya yang misterius itu kemudian terus membayang.

Dia selalu hanya mengucapkan salam, tersenyum misterius, dan bersalaman sambil menyelipkan amplop. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Amplopnya selalu sama. Buatan sendiri dan berwarna abu-abu. Jenis warna kertas yang aku kira jarang ada di desa-sesa.Aku tak habis pikir, bagaimana orang itu bisa selalu ada dalam pengajian yang tempatnya berjauhan.

Aku bukanlah mubalig kondang yang setiap tampil di pengajian diberitakan pers. Bagaimana orang itu bisa hadir ketika aku mengisi pengajian di sebuah dusun terpencil di Jawa Timur dan hadir pula di pengajian yang dilaksanakan di sebuah desa di ujung barat Jawa Barat, lalu hadir pula ketika di luar Jawa?

Darimana dia mendapat informasi?

Atau dia selalu membuntutiku?

Tidak mungkin. Musykil sekali.

Setiap kali aku mendapat “amplop”, dari mana atau dari siapa saja, aku tidak pernah membukanya. Langsung aku berikan isteriku.

Aku tak ingin hatiku terpengaruh oleh isinya yang mungkin berbeda-beda satu dengan yang lain, lalu tumbuh penilaian berbeda terhadap pihak –pihak yang memberi amplop.

Apalagi jika kemudian membuatku senang dan selalu mengharap menerima amplop. Na’udzu billah. Namun setelah enam kali berjumpa dengan lelaki berpakaian hitam-hitam itu, tiba-tiba aku ingin sekali mengetahui isi amplop-amplopnya yang diselipkannya di tanganku setiap usai pengajian-pengajian itu.

“Bu, kau masih menyimpan amplop-amplop yang kuberikan kepadamu?” aku bertanya kepada isteriku.

“Sebagian masih” jawab isteriku, “sebagian sudah saya pakai mengamplopi sumbangan-sumbangan yang kita berikan kepada orang.”

“Coba kau bawa kemari semua!”

Isteriku memandangiku agak heran, tapi dia beranjak juga mengambil amplop-amplop bekas yang ia simpan rapi di lemari pakaiannya.

“Banyak juga,” pikirku sambil menerima segepok amplop yang disodorkan isteriku.

Isteriku memandangiku penuh tanda tanya saat aku mengacak-acak amplop-amplop itu seperti mencari sesuatu.

“Ini dia!” kataku, membuat isteriku tambah heran.

Aku menemukan amplop-amplop persegi empat berwarna abu-abu yang kucari, lima buah jumlahnya.

“Lho, yang seperti ini Cuma ini, Bu? Hanya lima?”

“Ya nggak tahu,” sahut isteriku.

“Memangya ada berapa? Setahuku ya cuma itu.

Aku tidak mengusutnya lebih lanjut, mungkin justru aku yang lupa menghitung pertemuanku dengan lelaki misterius itu, lima atau enam kali. Aku memperhatikan dengan cermat lima amplop abu-abu itu.

Ternyata di semua amplop itu terdapat tulisan berhuruf Arab kecil-kecil, singkat-singkat, dan masing-masing ada tertera tanggalnya.

“Ada apa, Pak?” Tanya isteriku tertarik sambil duduk di sampingku.

Aku tak menghiraukan pertanyaannya. Aku mencoba mengurutkan tanggal-tanggaldi lima amplop itu.

Kemudian membaca apa yang tertulisdi masing-masing amplop secara berurutan sesuai tanggalnya. Aku kaget. Semuanya justru nasihat untukku sebagai mubalig yang biasa mensihati orang.

Aku pun menyesal mengapa amplop-amplop itu tidak aku buka pada waktunya.Amplop pertama kubaca:

“ ‘Ud’uu ilaa sabiili Rabbika bilhikmati walmau’izhatil hasanah (Ajaklah orang ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan nasihat yang baik). Genuk, Semarang, 8 Juli 2001.

”Amplop kedua: “Sebelum Anda menasihati orang banyak, sudahkah Anda menasihati diri Anda sendiri? Cilegon, 11 Juli 2001.

”Amplop ketiga: “Amar makruf dan nahi munkar seharusnya disampaikan dengan cara yang makruf juga. Beji, Tuban, 10 September 2001.

”Amplop keempat: “Yasirruu walaa tu’assiruu! (Berikan yang mudah-mudah dan jangan mempersulit!). Duduk, Gresik, 4 Januari 2002.

Dan amplop kelima: “Ya ayyuhalladziinaaamanu lima taquuluuna malaa taf’aluun! (Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang kau sendiri tidak melakukannya?.Besar sekali kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan sesuatu yang kau sendiri tidak melakukannya!).Batanghari, Lampung Timur, 29 April 2002.

”Aku mencoba mengingat-ingat apa saja yang pernah aku ceramahkan di tempat-tempat di mana aku menerima amplop-amplop itu.

Ternyata aku tidak bisa mengingatnya. Bahkan aku tidak ingat apa saja yang aku bicarakan pada kesempatan-kesempatan lainnya.

Ternyata aku lupa semua yang pernah aku katakan sendiri.

Ah.Siapapun orang itu—atau jangan-jangan malaikat—aku merasa berutang budi. Sebagai mubalig, pekerjaanku hanya memberi nasihat.

Jadi memang jarang sekali aku mendengarkan nasihat.

Aku sungguh bersyukur ada yang menasihatiku dengan cara begitu, sehingga sebagai mubalig, aku tidak perlu kehilangan muka.

Aku jadi mengharap mudah-mudahan bisa bertemu lagi dengan lelaki berpakaian hitam-hitam dan berwajah bersih itu di pengajian-pengajian mendatang.

“Kau masih ingat isi dari amplop-amplop ini?” tanyaku pada isteriku yang masih seperti bingung memperhatikanku.

“Siapa yang tidak ingat isi amplop-amplop itu?

Kalau yang lain mungkin aku lupa. Tapi amplop-amplop warna abu-abu itu aku tidak bisa lupa. Soalnya semua isinya sama, selalu dua ratus ribu rupiah.

Malah semuanya masih saya simpan.”“Masih kau simpan?” kataku kaget campur gembira.

“Jadi semuanya masih utuh? Berarti semuanya ada satu juta rupiah?”

“Ya, masih utuh. Wong aku tidak pernah mengutik-utik uang itu. Rasanya sayang, uangnya masih baru semua, seperti baru dicetak. Aku simpan di bawah pakaian-pakaianku di lemari,” ujar isteriku sambil beranjak ke kamarnya, mau mengambil uang yang disimpannya.

Aku menunggu tak sabar. Tak lama kemudian tiba-tiba,

“Paaak!” Terdengar suara isteriku berteriak histeris.

“Lihat kemari, Pak!”

Aku terburu-buru menghambur menyusulnya ke kamar.

Masya Allah.

Kulihat lemari pakaian isteriku terbuka dan dari dalamnya berhamburan uang-uang baru seratus ribuan, seolah-olah isi lemari itu memang hanya uang saja. Isteriku terpaku dengan mata terbelalak seperti kena sihir, melihat lembaran-lembaran uang yang terus mengucur dari lemarinya.

Dalam takjubku, aku sendiri masih melihat sebuah amplop abu-abu ikut melayang di antara lembaran-lembaran uang itu. Aku segera menangkapnya

Nah, ini dia yang satu lagi. Jadi benar hitunganku, enam kali aku bertemu lelaki itu. Ini amplop keenam.Tanpa mempedulikan istriku yang masih bengong memandangi lembaran-lembaran uang yang berterbangan, aku amati amplop itu seperti mengamati amplop-amplop lainnya tadi.

Dan ternyata di sini juga terdapat tulisan Arab kecil-kecil.

Isinya, “Wamal Hayaatud Dun-ya illa mataa’ul ghurur! (Kehidupan duniawi itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan!). Arafah, 9 Dzulhijjah 1418.

”Tidak seperti amplop-amplop lainnya, yang satu ini juga ada tertera namadan tanda tangan, “Hamba Allah, Khidir!”

Tahun 1418 aku memang naik haji, tapi aku tidak ingat pernah bertemu lelaki berpakaian hitam-hitam dan berwajah jernih itu.

Rasanya di Arafah semua orang berpakaian putih-putih.

SubhanAllah!
_________________________
Disadur dari buku beliau, Kumpulan Cerpen “Lukisan Kaligrafi”-

muridku

Syifa, gadis kecil kelas 4 SD yang seringnya terlihat biasa saja saat mengikuti pelajaranku.
pada hari dimana Tema kegiatan membahas Makhluk hidup, kuminta anak-anak ku menceritakan tentang Hewan di program pengolah kata, lengkap dengan design, font style, dan tools yang kubebaskan. kecuali font size, kubatasi 14 untuk teks dan 18 untuk judul.
Foto Izhar Piyo Isnanto.
kuberi ruang bebas untuk mereka menceritakan semua terkait dengan hewan, boleh piaraan, kesayangan, atau bahkan Hewan khayalan..
.
setelah sebelumnya kuberi contoh cerita “kucing kesayangan”, mereka terlihat termangu, seperti sedang meng-konsep cerita diotak masing2..
.
sampai akhirnya saat ku berkeliling sekedar mengamati dan mengintip apa yang mereka tulis.. aku mendapati pargraf demi paragraf yang tersusun dengan sistematis, urut dan penempatan titik koma yang proporsional..
.
“pada saat aku TK, suatu hari guruku memberi tugas untuk membawa hewab peliharaan, aku bingung karena aku tak punya hewan. setelah pulang akupun meminta bunda untuk membelikan hewan untuk aku bawa ke sekolah”
kira2 seperti inilah awal paragraf yang dibuat Syifa..
.
yang aku bangga dan kagum adalah penyajiannya yang ciamik untuk anak seusia dia, dari yang menjelaskan tentang kucing baru boleh kawin setelah umur 1tahun, dan kucingnya kebobolan oleh kucing luar rumah diusia 5bulan.. terus yang menceritakan dia mendapati banyak anak kucing(kucingnya melahirkan) dikolong meja yang dia kira cicak raksasa.. sampai pada kucing pemberian tantenya yang suka buang air sembarangan hingga akhirnya si kucing diusir oleh bundanya.. ini beneran membuatku tertegun..
.
saat menyusuri kalimat2 dalam ceritanya aku senyam/um sendiri..
kekagumanku membuat banyak gumaman dalam hati, sampai terselip do’a semoga menjadi penulis yang ‘angfa’uhum linnas’..

yang perlu diwaspadai para santri

yang rentan diwaspadi para pemburu ilmu adalah ketika ia terpukau, terpukau pada dirinya sendiri atas ilmu yang baru didapat.
ketika ini muncul dan tak terkendali, maka potensi terjerembab di lembah kesombongan sangat mungkin.

maka beruntunglah mereka yang berada di zona orang2 ‘alim, senantiasa memuridkan diri, selalu meraup manfaat dari para pakar ilmu..
memahami arti bahwa lapisan langit itu tidak hanya satu.

Foto Izhar Piyo Isnanto.

mengurangi mental mengemis

setelah melewati lampu merah dekat buaran mall di jalan igusti ngurah rai, aku belok kiri menuju flyover Klender..
taraa.. polisi razia sudah berjejer dengan mata berbinar melihat kedatanganku. kali ini sikapku yang tenang tak manjur untuk membuat polisi tidak memberhentikanku, kuikuti arahan salah satu pakpol yang menyuruhku menepi.

aku berhenti dengan kaki kiri berpijak ke trotoar jalan, sejurus kemudian pakpol tersebut hormat sambil mengucap salam, kubalas hormatnya dengan mengangguk..

“mohon maaf mengganggu perjalanannya, bisa ditunjukan surat2nya”

“siap, Pak..” sambil aku mengambil dompet

“Masnya kenapa platnya tidak asli?”

“oh iya maaf belum sempat saya ambil”

“jadi saya tilang ya..?”

“boleh saya lihat pasal berapa, Pak?”

“ini, Mas.. monggo pirsani” melihat plat no.ku pakpol tersebut seakn yakin kalau saya orang jawa.

“oh baik, Pak.. hari apa saya sidang dan berapa kira2 dendanya?”

“nanti hari Jum’at di pengadilan jakarta timur, atau Masnya boleh ke kejaksaan..”

“berapa Pak?”

“njih paling 50ribuan, Mas..”

“oo nggihmpun, itu salahsatu aja kan yg ditahan, Pak..?”

“oh iya, ini Masnya mau yg mana yg ditinggal?”

“SIM saja, Pak”

“nggak STNKny saja, barangkali mau pake motor lain?”

“nggak Pak, saya mau ke Kampus, ntar parkirnya nunjukin STNK”

“oh iya baik kalau begitu, silahkan Masnya tandatangan disini..” sambil menyodorkan kertas biru.

________
sebelumnya, Saya mungkin tergolong orang yang ngeyel jika ada tilangan semacam ini, adu argumen panjang, bawa2 nama mahasiswa lah, punya teman tentara lah, sampe mentok2nya saya kasih uang damai kalau emang gak lolos.. walau seringnya lolos memang..

dan tadi, setelah sampai kampus untuk ngambil legalisir.. kok jadi termangu, memikirkan kenapa kali ini berbeda menyikapi tilangan..
rasanya aku merasa lebih terhormat tadi, tidak mengiba atau emosi untuk memenangkan kesalahan, mengingat pengendara lain yang merengek-rengek minta dispensasi, aku kayaknya pengendara yang paling tenang tadi.. hahaha.. aku seakan mendadak bangga mampu mengakui kesalahan n ikuti aturan..

ya maklumlah, baru belajar baik.. :v

orangtua dan anak, guru dan murid.

jika bermain analogi hubungan antara orangtua dan anak, guru dan murid. rasanya aku ingin mengibaratkan mereka seperti pisau tumpul dan wungkal(alat asah pisau).
.
untuk menajamkan pisau, wungkal tak mewujudkan dirinya menjadi benda yang tajam pula, ia hanya perlu dua sisi antara kasar dan halus, dengan massa harus lebih berat dari pisaunya.
tak perduli pisau akan menjadi tumpul kembali setelah digunakan, wungkal selalu siap sedia untuk menajamkan kembali.
tak peduli wungkal akan terus terkikis habis, tekadnya adalah menajamkan fungsi pisau supaya terus bermanfaat.
.
pun dengan orangtua dan guru, mereka selalu proporsional menggunakan sisi kasar dan halusnya, hatinya harus jauh lebih besar dari anak atau muridnya. semata untuk membentuk karakter yang kuat supaya kelak mereka membawa manfaat bagi umat.

perubahan sistem tilang

“ah panas juga ternyata”, dengan mata menatap dua tangan yang memegang setang saat menunggu lampu merah, hatiku seakan tak setuju menempuh jarak ditengah terik matahari siangnya jakarta. tapi kutetap melanjutkan perjalanan mengurungkan putar balik mengambil jaket, biarlah kalau kulitku bertambah eksotis..

setelah sebelumnya aku ditolak pengadilan negeri jakarta timur untuk sidang tilang, bagian layanan informasi mengarahkanku ke kajaksaan, katanya sekarang untuk urusan penebusan urusan tilang sudah tak lagi jadi kerjaan pengadilan.

jadi security(yg diluar gedung) PN jaktim itu bajinguk, aku sudah melewati kerumunan calo yang matanya menatap seperti srigala, kok didalam ada calo berseragam ternyata. pas baru masuk gerbang bagus, ramah, sumeh bgt mereka, mengarahkan kendaraanku musti diparkir dimana.. nah pas tanya tilang, lambat laun keterangan yang diberikan kok makij nggatheli, muter2 membuat pemahamanku ruwet, merekayasa peraturan menjadi njlimet. aku tak begitu saja percaya, kutanya bagian informasi dimana dan aku menujunya. dan benarlah, info yang kuperoleh didalam lebih melegakan ketimbang dari satpam diluar tadi.

gini, Friends.. ringkas cerita tentang hiruk pikuk aku mengurus tilang di jakarta, tepatnya jakarta timur.
jadi selasa dua minggu yang lalu tuh aku kena tilang di flyover klender, kata pakpol yang menilang, aku bisa nebus denda di PN jaktim atau kejaksaan. ini pengalaman pertamaku kena tilang sampe sidang, dan udah aku iyain aja.
berhubung tempat kerjaku dekat dengan PN Jaktim, akhirnya aku ngacir kesana seadanya, lha deket, pikirku tak perlu prepare mengendarai jarak jauh..
sampailah aku di PN Jaktim, aku abaikan semua tangan calo2 yang melambai menawarkan jasa dengN sedikit memaksa. sebelum masuk gedung, aku cari info lewat satpam, si satpam bilang sekarang PN sdh tak melayani sidang tilang, sekarang mekanismenya bayar ke bank dengan nominal denda termahal lalu ke kejaksaan dengan menunjukan struk pembayaran, nanti di kejaksaan akan menerima besaran denda tilang yang sebenarnya, jika tak sampai denda terbesar, maka ada kembalian, pengambilan kembalian uangnya musti ke bank lagi..
ini dalam batinku, kok kenapa ngurus tilang taik banget begini..
melihat rautku yang mulai kusut, si satpam menawarkan jasa, katanya 200rb saja, ntar sore kesini lagi temui saya. “lho katanya disini sdh nggak bisa?” tanyaku kaget, “ya ntar saya lewat orang dalam, krn disini sdh biasaya utk tilangan saya kenal beberapa orang yg bs bantu”, “nanti deh, Pak”.

aku jadi mikir.. lha iya, diluar sana masih banyak calo, kalau seandainya nggak bisa diurus disini, ngapain calo2 itu? hmm.. sambil duduk diatas motor yg terparkir aku main HP dan menyusun strategi apa selanjutnya..

“pak, bagian informasi dimana ya?”
“ngapain Mas, kan sudah jelas!” dyar.. aku semakin penasaran..
“ya tapi ada kan disini pelayanan informasi?”
“itu lurus, mentok belok kiri” si satpam memberi petunjuk sambil mengarahkan tangannya..

dan kutemukan yang kucari..
“Mbak, mekanisme ngurus tilang gimana, ya..”
“coba saya liat no. registernya, Mas..”
“maksudnya, Mbak?”
“kertas tilangnya mana?”
“ini, Mbak..” kuambil dari dompet dan langsung kusodorkan..
“jadi sekarang pengurusan tilang sudah nggak di PN lagi, Mas.. Mas ngurusnya ke kejaksaan, ini Saya liat dendanya 60rb, Masnya bisa langsung tebus di kejaksaan sekarang, tau nggak kejaksaannya dimana?” aku menggeleng sambil menatapnya serius..
“kalau dari sini Mas menuju jalan igusti ngurah rai, lurus sampe ke LP Cipinang, setelah melewati LP, lampu merah belok kiri langsung ambil jalur lambat, kejaksaannya sebelah kanan jalan”
“Mbak yang katanya bayar di bank dulu dengan nominal denda terbesar dlu itu gimana ya?”
“ke bank itu kalau Masnya tidak bisa datang sesuai jadwal, tapi ya bisa saja sih langsung ke bank.. tapi ini Masnya bisa langsung tebus di kejaksaan, jadi nggak bolak-balik, karena banknya untuk wilayah Jaktim hanya di bank BRI otista Kampung Melayu, dan itupun bukan membayar denda terbesar, tetap sesuai pasal yang dilanggar, nanti telernya paham kok, nomer registrasinya ditanya dan berapa yanh harus dibayar..”
“oh gitu, terimakasih banyak, Mbak.. kok info diluar tadi njlimet ya.. hehehe” aku mengadu sambil terkekeh..
“lha sampean jangan tanya calo, jangan.. mereka ya jelas bikin informasi supaya sampean pakai jasa mereka saja!” tiba2 bapak2 sampingku yang tadi nyimak ikut menimpali.
“iya, Pak.. terimakasih..”
“makasih ya, Mbak..” kumenatapnya dengan senyum termanisku.. dan ku membelakanginya terus berjalan keluar..
_______
bayanganku diperjalanan menuju kejaksaan, pasti akan ada banyak calo lagi disana. ternyata tidak, aku mlipir dijalanan samping kanan mencari pintu masuk, sebelum sampai bagian belakang lingkungan kejaksaan, ada area terparkir banyaj motor dengan kanopi menaungi orang2 antri dibalik kaca jendela bernomor, batinku berucap mungkin inilah tempatnya.. setelah sesaat mengamati, aku masuk.

Foto Izhar Piyo Isnanto.

“Pak, ini tempat penebusan tilang bukan?” aku mencolek bapak2 paling belakang yg sdg antri
“iya, ambil no. antri dulu di loket satu, nanti no.nya dipanggil”
“oke terimakasih, Pak..”

dan setelah menunggu dengan pikiran spaneng, fokus mendengarkan no. panggilan yang kadang suka nggak urut, akhirnya no.ku dipanggil juga.
aku antri sesuai loket panggilan, antrian yang tak menghiraukan no. urut, pokoknya kalau tadi disuruh ke loket sekian yowis antri saja, tak peduli no. antrianmu lebih muda dari yang didepanmu.

____
dan selesailah, SIM kembali masuk dompet dengan barter uang 1 lembar gocapan, 2lembar gocengan, dan 1lembar duarebuan..

saatnya kembali ngantor..
teriknya siang membuat bayangan diotakku penuh minuman segar dengan nasi padang..
ah buruan, sebentar lagi sholat Jumat.. jangan sampai bacaan sholatmu tergantikan anega ragam makanan dan minuman.

Antara Tuhan dan Ketuhanan

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Seorang awam mendatangi Nabi Muhammad, dan bertanya di manakah Tuhan berada. Nabi menjawab dengan pertanyaan, di manakah Tuhan menurut orang itu? Penanya tersebut lalu menjawab bahwa Tuhan berada di langit, nun jauh di atas. Nabi lalu membenarkan ucapannya itu. Para sahabat Nabi lalu mempersoalkan hal itu, sepeninggal orang tersebut. Mengapakah Nabi mengatakan Tuhan berada di langit, nun jauh di atas, padahal bukankah Ia berada di mana saja, karena Ia tidak terikat ruang dan waktu, serta tak mengenal bentuk? Dijawab oleh Nabi, bahwa bagi orang tersebut, Tuhan berada di atas, dan itu sudah cukup baginya.

Riwayat tersebut menggambarkan betapa sulitnya menerangkan hakikat agama kepada manusia. Keserbaagungan Tuhan dan kemaha-mahaan lainnya yang dimiliki-Nya, tak dapat dijelaskan secara tepat kepada manusia. Sebabnya mudah saja: keterbatasan kemampuan manusia untuk menangkap kebesaran Tuhan. Kebesaran-Nya yang demikian mutlak, meniadakan kemampuan untuk hanya menetapkan satu cara saja untuk memahami-Nya. Dengan kata lain, pemahaman akan hakikat Tuhan mau tidak mau lalu mengambil bentuk berbeda-beda, dan dengan sendirinya pemahaman itu sendiri lalu berderajat. Tidak sama tingkat pemahaman Tuhan dari manusia ke manusia lainnya. Ada yang memahami-Nya demikian sederhana, seolah-olah Tuhan adalah sesuatu yang tidak kompleks sama sekali. Tuhan yang demikian adalah Tuhan yang dipahami secara sesisi: Maha Pemarah, Maha Penghukum, Maha Pembalas, dan seterusnya. Kepada manusia Ia adalah wajah kekuasaan yang mengerikan dan menakutkan, selalu siap dengan hukuman dan siksaan-Nya. Ia langsung menghukum setiap kesalahan, kelalaian dan kealpaan, bahkan sering kali hukuman-Nya sudah dijatuhkan sebelum kematian manusia dan ketika dunia belum kiamat. Penyakit menular dari sampar sampai cacar, bencana alam dari gempa bumi sampai banjir dan gunung meletus dan penindasan oleh bangsa-bangsa lain dijadikan contoh dari hukuman Tuhan itu.

Tuhan yang sesisi itulah yang paling banyak mencengkram benak manusia, dari masa ke masa dan dari agama ke agama. Hubungan Tuhan dan manusia dalam pemahaman seperti itu sangat bersifat mekanistik. Kau berjasa kepada Tuhan, kau akan diganjar dengan pahala. Sesuai dengan bagianmu, akan kau peroleh salah satu dari deretan sekian banyak imbalan, mulai dari kolam susu sampai bidadari ayu. Sebaliknya, kalau kau bersalah, hukuman akan jatuh dengan sendirinya. Boleh pilih, menurut tingkat dosamu, dari potong lidah hingga masuk penggorengan raksasa atau dipanggang menjadi manusia guling (ekuivalen kambing guling dari kehidupan dunia). Hubungan Tuhan dan manusia adalah hubungan hitam-putih, dengan spektrum sangat sempit dan tidak ada kemungkinan derajat pilihan cukup besar untuk mewadahi begitu banyak keragaman antarmanusia. Kalau ini yang dijadikan pola kehidupan beragama, masing-masing lalu berada pada kesempitannya sendiri. Jangankan dengan pemeluk agama lain, dengan sesama pemeluk satu agama pun akan terjadi perbedaan tajam. Pemahamanku adalah satu-satunya pemahaman yang benar, dan kau kafir karena kau berbeda dari pandanganku, dus kau bersalah. Neraka adalah bagianmu, dan surga adalah bagianku.

Tak dapat diingkari lagi, pendekatan seperti itu terhadap agama tentu akan dipenuhi oleh keruwetan hubungan antarmanusia, yang sebenarnya justru jauh dari hakikat agama. Salah satu ciri utama agama adalah universalitas ajarannya, sehingga melampaui batas-batas perbedaan antarmanusia. Jika ini tidak terjangkau oleh pemahaman agama yang disebutkan di atas, dengan sendirinya peranan agama lalu diciutkan, yaitu hanya untuk membebaskan sekelompok manusia saja, bukannya membebaskan keseluruhan umat manusia dari kungkungan kemanusiaan yang penuh keterbatasan. Manusia yang tidak mampu membebaskan diri dari kungkungan itu sudah tentu tidak dapat mengangkat diri menuju pengembangan sifat-sifat keilahian yang hakiki dalam dirinya, padahal itulah yang justru diminta oleh agama dari manusia. Jadilah bayangan Tuhanmu, agar kau mampu mencintai-Nya, adalah inti dari imbauan agama kepada manusia. Bagaimana mungkin kau mencapai derajat kecintaan kepada Tuhan dalam ukuran paling tepat, kalau kau tidak mencintai manusia secara umum, karena Tuhan justru mencintai mereka?

Tidak heranlah jika kaum mistik lalu mendambakan keintiman langsung antara manusia dan Tuhannya. Dari para pertapa Hindu dan Buddha hingga pendiri ordo Katolik dan para Sufi Muslim, mereka semua mendambakan kecintaan timbal-balik yang tulus antara Tuhan dan makhluk-Nya. Tuhan dilihat sebagai totalitas kebaikan dan kasih-sayang, dan manusia dilihat sebagai penerima kebaikan dan kasih-sayang itu. Karenanya, ia menerima Tuhan dengan kecintaan mutlak dan penghargaan setulus-tulusnya. Terasa benar kedua hal itu dalam ungkapan Sufi wanita Rabi’ah Al-‘Adawiyah: Ya Allah, tiadalah kusembah Engkau karena takut neraka-Mu atau tamak surga-Mu, melainkan kusembah Engkau karena Kau-lah zat tunggal yang patut kusembah. Luluhlah semua perintang di hadapan kecintaan seperti itu, hancurlah semua penghalang di muka ketulusan begitu mutlak.

Memang tidak semua manusia dapat sampai ke tingkat pemahaman Ketuhanan seperti itu, karena memang ia adalah tingkatan khusus untuk sejumlah orang suci saja. Namun, ia sepenuhnya benar sebagai tolok ukur ideal bagi pemahaman yang seharusnya dimiliki manusia akan Tuhan-Nya. Nabi Muhammad menggambarkan bahwa Tuhan adalah sebagaimana dibayangkan oleh kawula-Nya, dalam arti Ia mampu mengisi segala rongga yang ada di benak manusia, dan semua sudut yang ada dalam hatinya. Al-Quran mengajarkan bahwa “Tuhan lebih dekat kepada manusia dari urat lehernya sendiri”, namun pada saat yang sama Ia “duduk tegak di tahta-Nya”. Ini berarti Ia lebih besar dari apa pun rumusan manusia akan hakikat-Nya yang Mahasempurna. Sia-sialah upaya menjaring Tuhan hanya ke dalam sebuah pengertian saja. Seperti dikatakan para ulama Muslimin, boleh kalian rumuskan apa saja tentang Tuhan, tetapi jangan tentukan mekanisme kerja-Nya dalam menciptakan alam dan mengaturnya sekali. Boleh kalian sifati Tuhan dengan seberapa pun sifat yang dapat kalian kumpulkan, namun jangan tanyakan bagaimana sifat-sifat Tuhan itu menyatu dengan Zat-Nya. Jangan sebutkan bagaimana, kata Imam Hambali, bila kaifa dalam bahasa Arabnya.

Gambaran keluasan wawasan Ketuhanan yang seharusnya dimiliki manusia, seperti dicoba untuk digambarkan di atas, rasanya merupakan “pintu masuk” yang tepat bagi buku Romo Y. B. Mangunwijaya ini. Penulisnya melihat hubungan manusia dan Tuhan dalam ketakterhinggaan ufuk Ketuhanan itu, yang melampaui semua perbedaan antarmanusia dan menjembatani semua kesenjangan dalam kehidupan dunia. Manusia pertama-tama tidak dilihat sebagai obyek “garapan Tuhan” saja, melainkan sebagai pelaku aktif yang dituntut untuk mewujudkan pandangan keagamaannya dalam kehidupan nyata. Kalau boleh dirumuskan secara global, penghayatan iman seperti itu adalah penghadapan dan pertanggungjawaban keimanan kepada kehidupan. Keimanan bukanlah sesuatu yang abstrak dan berdiri sendiri lepas dari kehidupan, melainkan ia merupakan bagian utama dari kehidupan, karena ia harus mengarahkan kehidupan itu kepada suatu keadaan yang dikehendaki Tuhan.

Karena Tuhan adalah Tuhan yang Baik, Pemaaf, Pemurah, dan Pengasih, maka manusia tidak dapat lepas dari keharusan mewujudkan dalam dirinya sifat-sifat tersebut. Upaya mewujudkan sifat-sifat Tuhan itu dalam diri manusia tidak dapat berarti lain dari keharusan berbuat baik kepada sesama manusia, bersikap murah hati kepada mereka, mudah memaafkan kesalahan mereka, dan senantiasa berusaha mengasihi mereka. Sudah tentu tuntutan itu berujung pada keharusan manusia untuk senantiasa memikirkan kesejahteraan bersama seluruh umat manusia, bahkan kesejahteraan seluruh isi alam dan jagad raya ini. Tuntutan keagamaan seperti itu mengharuskan tumbuhnya pandangan tersendiri dalam diri manusia, dan itu akan diperoleh manakala religiositas ditanamkan dalam dirinya sejak masa anak. Bahwa “pendidikan agama” yang konvensional selama ini hanya menekankan penguasaan rumusan-rumusan abstrak tentang Tuhan dan penumbuhan sikap formal yang menyempitkan wawasan anak tentang Tuhan, akhirnya mendorong penulis buku ini untuk mencoba memetakan secara sederhana bagaimana seharusnya religiositas anak dikembangkan dan dibina.

Dalam kitab Al-Hikam, penulisnya merumuskan sebuah sikap yang sangat fundamental dalam mendidik religiositas: jangan temani orang yang perilakunya tidak membangkitkan semangatmu kepada Allah dan ucapan-ucapannya tidak menunjukkan kamu ke jalan menuju Allah. Kesadaran dan pemahaman akan Tuhan terkait sepenuhnya dengan percontohan yang harus diberikan tentang bagaimana seharusnya bergaul dengan Tuhan.

Keteladanan adalah kata kunci dari kerja mengembangkan religiositas dalam diri anak. Keimanan anak adalah sesuatu yang tumbuh dari pelaksanaan nyata, walaupun dalam bentuk dan cakupan sederhana, dari apa yang diajarkan. Karenanya, Tuhan yang abstrak tidak akan menciptakan religiositas, karena Ia tidak tergambar dalam keteladanan yang kongkret. Berikan kepada anak sosok Tuhan yang sangat abstrak, dan ia hanya akan menjadi beo peniru rumusan tanpa mampu memiliki religiositas sedikit pun. Letakkan pemahaman anak itu akan Tuhan dalam bentuk yang kongkret, yang dapat diwujudkannya dalam kehidupan sehari-hari, dan ia akan mengembangkan dalam dirinya religiositas penuh. Religiositas yang merasa prihatin oleh gugahan keprihatinan orang lain yang tidak seberuntung dirinya. Religiositas yang dalam lingkupnya sendiri mampu membuat anak itu di kemudian harinya mempertanggungjawabkan keimanannya sendiri kepada kehidupan.

Sebuah kisah menarik dari khazanah kaum Sufi dapat dikemukakan di sini. Seorang wanita saleh tidak mau memberi minum kepada kucing yang dikurungnya, hingga kucing itu mati. Sedangkan seorang wanita pelacur suatu ketika menolong anjing yang tersesat di padang pasir dari kematian karena kehausan, dengan jalan memberikan kepada anjing itu persediaan terakhir air minumnya. Dilakukannya hal itu dengan tidak menghiraukan keselamatannya sendiri. Di hari kiamat, sang wanita saleh dimasukkan neraka, karena kekejamannya jauh melampaui kesalehannya, sedangkan sang pelacur masuk surga karena kasih-sayangnya menyelamatkan makhluk lain, dan itu melebihi semua kesalahan dan kebobrokan moralnya. Mungkin dalam cerita inilah dapat ditemui gambaran kongkret akan religiositas, jika dimaksudkan dengan itu pertanggungjawaban keimanan kepada kehidupan. Religiositas dalam arti pemahaman bahwa ajaran formal agama belaka tidak akan mampu membentuk keimanan yang mampu meneropong kehidupan dalam segala keluasan dan kelapangannya. Ajaran formal itu masih harus dikongkretkan dalam sikap-sikap yang menghargai kehidupan dan memuliakan kedudukan manusia. Religiositas yang tidak terpaku pada pembenaran diri sendiri atau ajaran sendiri saja, melainkan yang sanggup membuat manusia menghargai sesamanya, betapa jauhnya sekalipun perbedaan antara mereka dalam keyakinan agama.

Tuhan yang ditanamkan pada diri anak, kalau diikuti garis pemahaman tersebut, adalah Tuhan yang mewujudkan diri dalam bentuk kongkret bagi anak. Tuhan milik anak, bukan hanya Tuhan milik kaum agamawan, apalagi Tuhan yang dimonopoli para teolog. Kalau Romo Mangunwijaya dalam buku ini meminta pengembangan anak yang menjadi milik Tuhan, dengan segala keindahan yang ada pada diri anak seperti itu, maka di akhir kata pengantar ini patutlah disambut ajakan itu dengan mengimbau agar hal itu dicapai melalui pengembangan wawasan yang akan menampilkan Tuhan yang menjadi milik anak. Menjadikan Tuhan milik anak, agar anak menjadi milik Tuhan, kalau meminjam peristilahan masa kini (seperti menyadarkan masyarakat dan memasyarakatkan kesadaran).

Mampukah kita semua, dengan melupakan semua perbedaan agama dan keyakinan masing-masing, melakukan kerja itu?

muhasabah diri

jika kau hanya hidup sendiri, mungkin hukum ekonomi yang mengatakan kebutuhan(sebenarnya keinginan, bukan kebutuhan) manusia sifatnya tak terbatas takan berlaku.
menjadi tak terbatas karena sebenarnya apa yang kau inginkan adalah pengharapan pengakuan orang lain. kau ingin pujian, kau ingin kehormatan, kau ingin pujaan, bahkan kau ingin disembah..
.
atas itu semualah ketidakterbasan timbul, gimana menjadi terbatas, lha wong kamu sedang mengakumulasi keinginan orang seantero dunia.
akumulasi??? iya!!
.
coba kalau kamu hidup sendirian, paling kau hanya minta hati damai bersama-NYA.

Create a free website or blog at WordPress.com.

Up ↑